ABUNALI JA'FAR

Kamis, 26 Desember 2013

abnaf84: STUDY ECOREGION KABUPATEN BANGKALAN

abnaf84: STUDY ECOREGION KABUPATEN BANGKALAN

abnaf84: Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Kabupaten Pamekasan

abnaf84: Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Kabupaten Pamekasan

Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Kabupaten Pamekasan

 

1.1.Latar belakang

Garam merupakan kebutuhan pokok yang tidak kalah pentingnya dibandingkan gula. Hampir setiap rumah tangga membutuhkan garam konsumsisetiap harinya. Keberadaan garam dalam kehidupan sehari-hari pun tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain untuk memberikan identitas rasa pada makanan, garam konsumsi yang mengandung yodium dapat mencegah berbagai penyakit seperti gondok dan kemungkinan terjadinya keterbelakangan mental yang disebabkan karena sel otak tidak dapat berkembang dengan baik.Kebutuhan akan garam dalam kehidupan sehari-hari tak sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi semata, namun sektor industri pun memerlukan garam sebagai salah satu bahan campuran dalam industrinya.  Hal ini disebabkan karena garam mengandung zat-zat yang diperlukan oleh beberapa industri tertentu untuk mendukung produksi mereka.

Kapasitas produksi dalam negeri masih belum dapat memenuhi kebutuhan akan garam itu sendiri. Menurut Direktorat Industri Kimia Anorganik dalam Burhanuddin (2001:1), perkiraan akan kebutuhan garam nasional sekitar 2,2 juta ton per tahun dan pertumbuhan rata-rata kebutuhan garam baik untuk konsumsi maupun industri setiap tahunnya meningkat 8,4%. Jawa Timur merupakan salah satu produsen garam Nasional dengan ladang garam terluas di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kondisi alam dan iklim yang mendukung proses produksi garam. Luas lahan dan kemampuan Jawa Timur dalam menyediakan garam nasional tersaji dari tabel berikut ini:

Tabel 1.Produksi (Ton) dan Produktivitas Garam Tiap Sentra Produksi

clip_image002

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan

 

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari segi produktivitas Jawa Timur memimpin dengan angka 64,86 Ton/Ha yang kemudian disusul oleh Jawa Tengah dan NTT.  Jawa Timur memiliki daerah andalan dalam memproduksi garamnya.Pulau Madura merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Jawa Timur.Tak ayal lagi bila Madura dijuluki sebagai “Pulau Garam” oleh masyarakat. Ini tidak terlepas dari faktor alam  (endowment) sehingga Madura mampu memproduksi garam dalam jumlah besar. Selain iklim, kondisi geografis Madura sangat mendukung proses produksi garam. Faktor anugerah alam inilah yang kemudian dimanfaatkan dan diolah sehingga dengan kondisi alam yang memilki karakteristik tersendiri, Madura mampu menggali potensi-potensi baik yang nampak maupun terselebung.Dengan demikian kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Madura dapat ditingkatkan.

Saat ini tingkat produktivitas lahan penggaraman di Indonesia rata-rata baru mencapai sebesar 60-70 ton/hektar/tahun, cukup rendah apabila dibandingkan dengan Australia atau India. Pada tahun 2009, produksi garam nasional mencapai 1.265.600 ton, masih jauh lebih rendah dari kebutuhan garam nasional yang mencapai sebesar 2.865.600 ton per tahun.Rendahnya produktifitas garam nasional yang tidak sebanding antara tingkat kebutuhan dengan konsumsi garam mengakibatkan Indonesia masih membuka impor garam dari luar negeri yang jumlahnya mencapai 55% dari kebutuhan garam nasional.

Dalam mewujudkan swasembada garam tahun 2015, setidaknya terdapat 5 (lima) isu strategis yang akan dihadapi yaitu :

1)        Isu kelembagaan akibat lemahnya posisi tawar petambak garam.

2)        Isu infrastruktur dan fasilitas produksi, karena lahan potensial baru setengahnya yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam dan dikelola dengan fasilitas masih tradisional.

3)        Isu permodalan dan manajemen usaha. Pengusaha garam nasional mengalami kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan pembiayaan untuk memperoleh modal usaha.

4)        Isu Regulasi, yang menyangkut pengaturan pengadaan garam beryodium, penetapan harga awal, dan pengaturan garam impor.

5)        Isu tata niaga, terkait dengan impor garam sering dilakukan pada saat panen raya, dan masih tingginya deviasi harga di tingkat produsen dan konsumen, serta terjadinya penguasaan kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan regional.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka peran pemerintah daerah menjadi sangat penting.Penanganan pergaraman nasional dalam rangka swasembada garam tidak bisa lagi dijalankan dengan bergantung pada pemerintah pusat. Untuk itu, kebijakan dalam mendukung inisiasi swasembada garam nasional akan ditempuh dengan 2 (dua) strategi, yaitu peningkatan produksi dan kualitas garam rakyat, dan pemberdayaan masyarakat petambak garam.         

Melalui Program PUGAR, maka diharapkan pada tahun 2011 impor garam dapat dikurangi. Kegiatan yang diberikan kepada masyarakat melalui Program PUGAR yakni penyusunan rencana rinci pemberdayaan tingkat desa, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM petambak garam, fasilitasi kemitraan, dan penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).

Kegiatan Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam merupakan kegiatan pemetaan lahan tambak yang ada di Kabupaten Pamekasan, melalui kegiatan pemetaan ini diharapkan dapat diketahui data dan informasi serta permasalahan yang dihadapi petambak garam rakyat sehingga dapat ditentukan strategi dan solusi yang tepat untuk peningkatan kompetensi serta kapasitas Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) yang menjadi sasaran PUGAR dalam rangka meningkatkan produksi dan kualitas garam rakyat, serta pemberdayaan masyarakat petambak garam yang ada di Kabupaten Pamekasan.

 

1.2.Permasalahan

Pengembangan produksi dan kualitas garam di Kabupaten Pamekasan menghadapi permasalahan dasar, yaitu:

1)      Kurang optimalnya proses pembuatan garam, sehingga produksi dan kualitas garam di Kabupten Pamekasan masih sangat kurang, hal ini disebabkan karena proses pembuatan garam yang masih tradisional.

2)      Sumberdaya manusia di Kabupaten Pamekasan masih sangat terbatas sehingga berpengaruh terhadap jumlah produksi dan kualitas garam di Kabupaten Pamekasan.

3)      Perencanaan pengembangan produksi garam yang belum didasari oleh informasi tentang tingkat kondisi tambak garam yang akurat.

Permasalahan tersebut di atas disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

a)      Belum lengkapnya data atau informasi tentang potensi dan produksi garam di Kabupaten Pamekasan yangup to date ;

b)     Belum adanya data kondisi lahan dan julah produksi garam di Kabupaten Pamekasan yang akurat. Hal ini penting untuk mengetahui daerah mana yang kondisi tambak garam tersebut diatas masih bagus dan daerah mana yang mengalami kerusakan.

 

1.3.Maksud dan Tujuan

Pekerjaan Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Rakyat mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut :

1.1.Maksud dan Tujuan

Pekerjaan Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Rakyat mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut :

a.        Maksud

Maksud dari kegiatan ini adalah untuk memetakan potensi lahan tambak garam untuk data base Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pamekasan serta sebagai informasi potensi wilayah tambak garam di Kabupaten Pamekasan.

b.        Tujuan kegiatan ini secara spesifik adalah :

1)        Untuk mengetahui cakupan luas lahan produksi dan potensi serta peluang dan permasalahan petani garam di Kabupaten Pamekasan.

2)        Membuat basis data yang berisi informasi tentang parameter-parameter yang berpengaruh terhadap proses produksi garam.

3)        Menganalisa strategi yang dapat diterapkan dalam rangka memperbaiki kualitas garam

4)        Membuat formulasi kebijakan sehubungan dengan pengelolaan dan perencanaan usaha garam rakyat.

Literatur:

Laporan Akhir Pemetaan Potensi Wilayah Tambak Garam Kabupaten Pamekasan 2011

 

STUDY ECOREGION KABUPATEN BANGKALAN

1.1     Latar  Belakang
Sumber daya alam merupakan basis pembangunan yang pemanfaatannya telah banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan perekonomian dan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Disamping itu,sumberdaya alam dan lingkungan hidup juga mempunyai fungsi penting dalam menyangga sistem kehidupan. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan sangat bergantung pada kualitas dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya.
Pemanfaatan sumberdaya alam dan aktivitas pembangunan selama ini masih kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Pencemaran air dan tanah serta kerusakan keanekaragaman hayati yang berakibat pada penurunan kualitas lingkungan hidup dan mempengaruhi efisiensi pembangunan. Beban pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup semakin meningkat dengan terjadinya perubahan iklim.
Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi memberikan dampak pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Selain dari pada itu upaya juga dilakukan untuk menghadapi berbagai phenomena alam yang memperparah terjadinya penurunnya kualitas hidup masyarakat seperti bencana lingkungan, bencana alam dan dampak perubahan iklim. Dampak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas tersebut semakin berat karena disertai dengan kondisi ketidakmampuan lingkungan memberikan dukungan layanan kehidupan.
Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak kejadian-kejadian tersebut, telah dilakukan upaya penataan lingkungan, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pencemar dan perusak lingkungan, penyusunan berbagai peraturan perundang undangan di bidang lingkungan hidup peningkatan kesadaran semua lapisan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup serta penyebarluasan infbrmasi dan isu lingkungan hidup.
Kabupaten Bangkalan memiliki sejumlah kawasan pertumbuhan ekonomi baru untuk yang dirancang untuk memujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, Kabupaten Bangkalan dalam setiap perencanaannya telah mengadopsi sistem perencanaan yang terintegrasi serta mengacu pada perencanaan tingkat nasional dan tingkat provinsi. Hal tersebut dijabarkan dalam Rencana Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah, Rencana Tata Ruang Wilayah maupun rencana sektoral di Kabupaten Bangkalan.
Untuk lebih mengintegrasikan semua perencanaan tersebut perlu dimasukkan aspek lingkungan hidup secara menyeluruh di dalamnya melalui masterplan pengelolaan lingkungan. Masterplan Pengelolaan lingkungan adalah istilah lain dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) menurut undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. RPPLH disusun dengan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat dan indikasi terjadinya perubahan iklim. RPPLH memuat rencana pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam; pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan fungsi lingkungan hidup; pengendalian, pemantauan, pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; serta adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.Salah satu tahapan yang harus dilakukan dalam menyusun RPPLH adalah penetapan kawasan ecoregion. Konsep wilayah ekoregion bisa menjadi jawaban dan jembatan yang mengaitkan antara perencanaan pembangunan, penataan ruang dan pertimbangan lingkungan hidup. Mengacu pada hal tersebut, di Kabupaten Bangkalan perlu dilakukan penetapan kawasan ecoregion sebagai upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari upaya perencanaan kawasan dan lingkungan hidup yang komprehensif.

1.1     Konsep Dasar Ecoregion Dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  1.  Keberlanjutan (sustainability), konsep keberlanjutan yang digunakan disini berasosiasi dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development Partidario (2007) mendefinisikan keberlanjutan sebagai suatu proses atau kondisi tertentu yang dicapai sebagai hasil pembangunan berkelanjutan yang berlangsung dalam jangka panjang  waktu yang panjang. Lebih lanjut dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
  2. RPPLH, atau Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: perencanaan; pemanfaatan; pengendalian; pemeliharaan; pengawasan; dan penegakan hukum. Selanjutnya RPPLH dilaksanakan melalui tahapan inventarisasi lingkungan hidup; penetapan wilayah ekoregion; dan penyusunan RPPLH
  3. Ecoregion, berdasarkan Undang-undang 32 tahun 2009, didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas system alam dan lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan bahwa :
  • Penetapan ekoregion dimaksudkan untuk melakukan perencanaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga dapatmenjamin: a) perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; b) perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
  • Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan karakteristik bentang alam, iklim, daerah aliran sungai, flora   dan fauna, social budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dan hasil inventarisasi lingkungan (pasal 7 ayat (2)).
  •    Ekoregion mempunyai fungsi pengelolaan, menentukan daya dukung dan daya tamping serta cadangan sumber daya alam. Batas ekoregion tidak bergantung pada batas wilayah administrasi.

  • clip_image002[5]

    1.1    Tujuan dan Sasaran
    1.1.1     Tujuan
    Tujuan dari kegiatan Studi Ecoregion Kabupaten Bangkalan adalah sebagai berikut :
    1.    Inventarisasi potensi sumberdaya lingkungan
    2.    Menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan
    3.    Penetapan kawasan ecoregion dengan mempertimbangkan karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai (DAS), flora dan fauna, sosial budaya dan kelembagaan masyarakat
    4.    Melakukan perencanaan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan menciptakan sistem dan mekanisme pengelolaan sumberdaya untuk menjamin pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan;

    1.1.2     Sasaran
    Sasaran yang ingin dicapai melalui penetapan kawasan ecoregion adalah sebagai berikut :
    1.    Terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu;
    2.    Tersusun dan terkoordinasikannya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan yang sinergis di Kabupaten Bangkalan secara keseluruhan beserta program pendukungnya.
    3.    Terwujudnya keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya dan pelestarian fungsi-fungsi ekologis lingkungan hidup;
    4.    Terwujudnya perbaikan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup di wilayah Kabupaten Bangkalan.
    5.    Terintegrasinya tujuan pembangunan berkelanjutan, atas dasar asas keterkaitan, asas keseimbangan dan asas keadilan.

    1.1.3     Keluaran

    Adapun keluaran dari Studi Ecoregion di Kabupaten Bangkalan adalah sebagai berikut :
    1.    Daya dukung dan daya tamping kawasan untuk berbagai sumberdaya dan pemanfaatan
    2.    Album peta daya dukung dan daya tampung.
    3.    Penetapan wilayah ekoregion (Surat Keputusan Bupati atau Perda kawasan pemanfatan)
    1.2    Dasar Hukum
    Dasar hukum penyusunan Studi Ecoregion Kabupaten Bangkalan, sebagai berikut:
    1.         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Peridustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274;
    2.         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (Lembaran Negara Tahun 1990 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
    3.         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469);
    4.         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470);
    5.         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
    6.         Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412);
    7.         Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4169);
    8.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
    9.         Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
    10.      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4444);
    11.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4700);
    12.      Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723);
    13.      Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
    14.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Energi(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4746);
    15.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4851);
    16.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4959);
    17.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4966);
    18.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5025);
    19.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059);
    20.      Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5068);
    21.      Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5073);
    22.      Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
    23.      Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3396);
    24.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3599);
    25.      Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
    26.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan  (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3396);
    27.      Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Kualitas Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
    28.      Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;
    29.      Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
    30.      Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385);
    31.      Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penataan Tanah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385);
    32.      Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4453);
    33.      Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4490);
    34.      Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4532);
    35.      Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4624);
    36.      Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4655);
    37.      Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696) sebagimana telah diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4814);
    38.      Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah  (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4817);
    39.      Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833);
    40.      Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4858);
    41.      Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4859);
    42.      Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4987);
    43.      Keputusan Presiden Nomor 32  Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
    44.      Keputusan Presiden Nomor 33  Tahun 1991 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri;
    45.      Keputusan Presiden Nomor 41  Tahun 1996 tentang Kawasan Industri;
    46.      Keputusan Presiden Nomor 62  Tahun 2002 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional;
    47.      Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai;
    48.      Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
    49.      Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/UM/1980 dan Nomor 683/KPTS/UM/II/1998 tentang Klasifikasi Kemampuan Lahan;
    50.      Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (Lembaran Daerah Tahun 1991 Nomor 1, Seri C);
    51.      Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Hutan di Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 1, Seri E);
    52.      Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2005 tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi di Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 2, Seri E);
    53.      Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005-2025;
    54.      Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2009-2014;
    55.      Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2006 tentang Pemanfaatan Ruang Pada Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional di Propinsi Jawa Timur.

    Daftar Pustaka:

    _______, 2009. Undang-Undang No 32 Tahun 2009. tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. http://www.menlh.go.id. diakses tanggal 20 Agustus 2010.

    _______, 2009. Peraturan  Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009. tentang  Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah. http://www.menlh.co.id. diakses tanggal 12 Oktober 2011.

    Aldrich, M., A. Belokurov, J. Bowling et al. 2004. Integrating Forest Protection, Management and Restoration at a Landscape Scale. WWF, Gland, Switzerland.

    Ramadhan, Agus. 2011. Study Ecoregion Kabupaten Bangkalan. BLH Bangkalan

    Djoekardi. D.D., 2006. Pengawasan Implementasi Tata Ruang Berbasis Ekosistem, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Yogyakarta, 28 Februari – 1 Maret 2006

    Erdmann, 2008. Ecoregional Conservation and Development in Madagascar.

    Hughes, R.M., and J.M. Omernik. 1981. Use and misuse of the terms watershed and stream order. American Fisheries Society, Warmwater Stream Symposium, Bethesda, MD. p.320-326

    Kamis, 05 September 2013

    STUDI KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN BANGKALAN

    Sumber daya kelautan (marine resources) merupakan sumber daya yang memiliki keuntungan komparatif yang penting bagi perekonomian Indonesia dalam perdagangan nasional dan global. Hal ini dikarenakan kekayaan sumber kelautan kita yang luar biasa, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Selain itu, sumber daya kelautan kita memiliki peluang pasar yang relative prospektif, baik pasar domestik maupun internasional karena ketersediaan dan kualitas yang sangat memadai. Kabupaten Bangkalan sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang telah kita ketahui memiliki sumber daya kelautan yang potensial dengan kelimpahan yang luar biasa. Kondisi ini dapat dilihat dari kondisi geografis yang dikelilingi laut dan 10 dari 18 kecamatan di Kabupaten Bangkalan merupakan kecamatan pesisir. Sebagai wilayah yang didominasi oleh wilayah pesisir, kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan berupa penangkapan ikan, budidaya ikan dan pengolahan hasil produksi perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat.

    Pengembangan kawasan yang berbasis pada kondisi sumberdaya, pengembangan wilayah di Kabupaten Bangkalan diupayakan suatu pendekatan melalui produk yaitu perencanaan pengembangan kawasan perikanan (minapolitan). Konsepsi mengenai pengembangan kawasan perikanan dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata ruang suatu wilayah perikanan, khususnya kawasan sentra produksi perikanan daerah. Perencanaan pengembangan kawasan perikanan (minapolitan) merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan lahan / potensi yang ada dalarn mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang perikanan dipedesaan. Lebih lanjut berdasarkan isu dan permasalahan pembangunan pedesaan yang terjadi, pengembangan kawasan minapolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah (perdesaan). Kawasan minapolitan diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat minapolitan dan desa-desa disekitarnya membentuk kawasan minapolitan. Disamping itu, kawasan minapolitan ini juga dicirikan dengan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis dipusat minapolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangun perikanan (minabisnis) diwilayah sekitarnya. Secara umum telah disadari bahwa dalam menunjang pengembangan minapolitan yang memiliki ketersediaan sumber daya, sarana prasarana dan dan berbagai faktor penentu lainnya, membutuhkan sebuah perencanaan sistematis. Untuk lebih mengintegrasikan perencanaan tersebut perlu dilakukan penilaian kawasan untuk menilai segenap potensi, fasilitas pendukung dan upaya pengembangan yang perlu dilakukan dalam mengembangkan minapolitan. Mengacu pada hal tersebut, di Kabupaten Bangkalan perlu dilakukan studi pengembangan kawasan minapolitan sebagai bagian dari upaya perencanaan kawasan yang komprehensif dan terintegrasi.

    2.1 Definisi Kawasan Minapolitan

    Minapolitan terdiri dari kata mina dan kata politan (polis). Mina berarti ikan dan Politan berarti kota, sehingga minapolitan dapat diartikan sebagai kota perikanan atau kota didaerah lahan perikanan atau perikanan di daerah kota. Lebih lanjut yang dimaksud dengan minapolitan adalah kota perikanan yangtumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya. Kota perikanan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa‐desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagi pusat pelayanan sektor perikanan, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha perikanan (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan dan lainnya.

    Kota perikanan (minapolitan) berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan) yang mana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencarian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan perikanan tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan minapolitan. Kawasan minapolitan berdasarkan turunan kawasan agropolitan menurut UU Penataan Ruang No 26/2007 adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis. Lebih lanjut, minabisnis dijelaskan sebagai suatu kegiatan penanganan komoditas secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir (pengadaan dan penyaluran minainput, proses produksi, pengolahan, dan pemasaran).

    2.2 Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan

    Konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keanekaragarnan fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sarna lain secara fungsional dalarn mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kawasan sentra perikanan budidaya (minapolitan) merupakan kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan perikanan di wilayah sekitarnya. Kawasan sentra perikanan terdiri dari kota perikanan dan desa-desa sentra produksi perikanan yang ada disekitarnya dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada. Pengelolaan ruang diartikan sebagai kegiatan pengaturan, pengendalian, pengawasan, evaluasi, penertiban dan peninjauan kembali atas pemanfaatan ruang kawasan sentra perikanan. Program pengembangan kawasan sentra perikanan adalah pembangunan ekonomi berbasis perikanan yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, utuh dan menyeluruh, berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Kawasan perikanan yang terdapat di daerah pedesaan harus dikembangkan sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota (urban-rural linkages), dan menyeluruh hubungan yang bersifat timbal balik yang dinamis. Adapun kriteria yang dijadikan acuan dalam perencanaan pengembangan kawasan perikanan (minapolitan) meliputi:

    a. Kriteria Umum

    Kriteria umum dalam pengembangan kawasan perikanan (minapolitan) sebagai berikut :

    o Penggunaan lahan untuk kegiatan perikanan harus memanfaatkan potensi yang sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi dan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

    o Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis dilarang untuk dialih fungsikan

    o Kegiatan perikanan skala besar atau intensif harus memiliki Amdal

    o Kegiatan perikanan skala besar harus diupayakan menyerap tenaga kerja setempat

    o Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan dan RTRW

    b. Kriteria Khusus

    Kriteria khusus dalam pengembangan kawasan perikanan (minapolitan) sebagai berikut :

    o Memiliki kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah

    o Memiliki sektor unggulan yang mampu mendorong kegiatan ekonomi sektor lain dalam kawasan itu sendiri maupun kawasan sekitarnya

    o Memiliki keterkaitan kedepan (daerah pemasaran produk-produk yang dihasilkan) maupun kebelakang (suplai kebutuhan sarana produksi) dengan beberapa daerah pendukung

    o Memiliki kemampuan untuk memelihara sumber daya alam sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan mampu menciptakan kesejahteraan secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat

    o Memilki luasan areal budidaya eksisting minimal 200 Ha

    Lebih Ianjut, selain tujuan-tujuan tersebut diatas, dipandang dari segi kepentingan daerah, pengembangan kawasan dapat diarahkan untuk mencapai hal-hal berikut:

    a. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi serta sosial masyarakat pedesaan;

    b. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat sekitar kawasan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan keamanan;

    c. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan kawasan;

    d. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan pendapatan Negara serta pendapatan masyarakat;

    e. Mendorong dan mempercepat pengembangan wilayah demi mencapai kemajuan serta kemandirian daerah.

    Suatu kawasan sentra perikanan budidaya yang sudah berkembang harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut di dominasi oleh kegiatan perikanan budidaya dalam suatusi stem yang utuh dan terintegrasi mulai dari:

    a. Subsistem minabisnis hulu (up stream minabusiness) yang mencakup: penelitian dan pengembangan, sarana perikanan, pemodalan, dan lain-lain;

    b. Subsistem usaha perikanan budidaya (on farm minabusiness) yang mencakup usaha: pembenihan ikan, pembesaran ikan dan penyediaan sarana perikanan budidaya;

    c. Subsistem minabinis hilir (douwn stream minabusiness) yang meliputi: industry-industri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor.

    d. Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi minabisnis)seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.

    2. Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages) yang bersifat timbal balik dan saling membutuhkan, dimana kawasan perikanan budidaya di pedesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (offfarm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan minabisnis seperti penyediaan sarana perikanan antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan perikanan dan lain sebagainya;

    3. Kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan perikanan budidaya, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) produk perikanan, perdagangan hasil-hasil perikanan (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan permodalan), minawisata dan jasa pelayanan;

    4. Infrastruktur yang ada dikawasan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota.

     

    image

    Gambar 2.1. Kedudukan Kawasan Minapolitan Dalam KeterkaitanDesa - Kota - Pasar

    Disamping itu, kawasan minapolitan ini juga dicirikan dengan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis dipusat minapolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangun perikanan (minabisnis) diwilayah sekitarnya. Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan minapolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan. Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan minapolitan ini menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal (local social culture).

    2.3 Penetapan Kawasan Minapolitan

    Pengembangan kawasan minapolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan minapolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Lebih lanjut perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud. Terkait pengembangan kawasan minapolitan secara terintegrasi, perlu disusun masterplan pengembangan kawasan minapolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan. Douglas (1986) menyarankan dalam masterplan pengembangan kawasan minapolitan harus terdapat muatan sebagai berikut :

    a. Penetapan pusat agropolitan / minapolitan yang berfungsi sebagai

    1. Pusat perdagangan dan transportasi perikanan (aquacultural trade/transport center).

    2. Penyedia jasa pendukung perikanan (aquacultural support services).

    3. Pasar konsumen produk non-perikanan (non aquacultural consumers market).

    4. Pusat industry perikanan (aqua based industry).

    5. Penyedia pekerjaan non perikanan (non-aquacultural employment).

    6. Pusat minapolitan dan hinterlandnya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten).

    b. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai :

    1. Pusat produksi perikanan (aquacultural production).

    2. Intensifikasi perikanan (aquacultural intensification).

    3. Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non-perikanan (rural income and demand for non-aquacultural goods and services).

    4. Produksi ikan siap jual dan diversifikasi perikanan (cash fish production and aquacultural diversification).

    c. Penetapan sektor unggulan:

    1. Merupakan sektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.

    2. Kegiatan minabisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal).

    3. Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.

    d. Dukungan sistem infrastruktur

    Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan minapolitan diantaranya: jaringan jalan, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi).

    e. Dukungan sistem kelembagaan.

    1. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan minapolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat.

    2. Pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan minapolitan.

    Melalui keterkaitan tersebut, pusat minapolitan dan kawasan produksi perikanan berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Lebih lanjut adanya pola interaksi ini diharapkan untuk meningkatkan niali tambah (value added) produksi kawasan minapolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.

    2.4 Pusat Pertumbuhan Kawasan Minapolis

    Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara yaitu secara fungsional dan secara geografis (Tarigan, 2007). Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur – unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (wilayah belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di daerah tersebut walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha – usaha tersebut. Pusat pertumbuhan haruslah memiliki 4 ciri yaitu :

    1. Adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah daerah. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Jadi, kehidupan daerah berada dalam satu irama dengan berbagai komponen lainnya dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lain yang tidak terkena imbasnya sama sekali. Hal ini berbeda dengan daerah yang fungsinya sebagai daerah transit (perantara). Daerah/kota perantara fungsinya hanya mengumpulkan berbagai bahan dari daerah belakangnya dan menjualnya ke kota lain yang lebih besar/luar wilayah dan membeli berbagai kebutuhan masyarakat dari kota lain dan dijual atau didistribusikan ke wilayah belakangnya. Pada daerah perantara tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang menciptakan nilai tambah. Kalaupun ada pengolahan hanya bersifat penyortiran (seleksi) dan pembungkusan, sedangkan kegiatan yang bersifat mengubah bentuk dan kegunaan barang masih sedikit. Pertumbuhan sektor perantara itu tidak banyak mendorong pertumbuhan sektor lain di daerah tersebut.

    2. Adanya multiplier effect (unsur pengganda). Keberadaan sektor – sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek pengganda. Apabila ada satu sektor atas permintaan dari luar wilayah, produksinya meningkat karena ada keterkaitan membuat produksi sektor lain juga meningkat dan akan terjadi beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan dari luar untuk sektor tersebut (sektor yang pertama meningkat permintaannya). Unsur efek pengganda sangat berperan dalam membuat daerah tersebut mampu memacu pertumbuhan wilayah belakangnya.

    3. Adanya konsentrasi geografis. Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor – sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. orang yang datang ke daerah tersebut bisa mendapatkan berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Jadi, kebutuhan dapat diperoleh dengan lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Hal ini membuat daerah itu menarik untuk dikunjungi dan karena volume transaksi yang makin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga tercipta efisiensi lanjutan.

    4. Bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya (hinterland). Hal ini berarti antara pusat daerah/kota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila terdapat hubungan yang harmonis dengan wilayah belakangnya dan kota itu akan berfungsi untuk mendorong wilayah belakangnya.

    2.5 Sektor Perikanan

    Sektor perikanan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia mengingat prospek pasar, baik dalam negeri maupun internasional cukup cerah (Parwinia, 2001). Menurut Soselisa (2001), perikanan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya hewan atau tanaman air yang hidup bebas di laut atau perairan umum. Adapun menurut Mubyarto (1984), yang dimaksud dengan perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Sedangkan menurut UU No 9 tahun 1985, perikanan ialah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yaitu kegiatan ekonomi bidang penangkapan/pembudidayaan ikan.

    Klasifikasi Ikan didalam UU No 9 tahun 1985 adalah: Pisces (ikan bersirip), Crustacea (udang, kepiting, dan lainnya), Mollusca (kerang, cumi-cumi, dan lainnya), Echinodermata (teripang, bulu babi dan lainnya), Amphibi (kodok, dan lainnya), Reptilia (buaya, penyu,dan lainnya), Mammalia (paus, pesut, dan lainnya), Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidup di air), dan biota perairan lain yang berkaitan dengan jenis-jenis diatas. Untuk kepentingan pengelolaan, ikan laut digolongkan sebagai berikut :

    a. Ikan karang,

    b. Rumput laut,

    c. Ikan hias, misalnya: Napoleon,

    d. Ikan demersal, ialah kelompok ikan yang hidup dan mencari makan di dasar laut/perairan, seperti: kakap, pari

    e. Ikan pelagis kecil, ialah ikan yang hidup dan mencari makan di laut bagian atas dekat dengan permukaan, meliputi: layang, teri, tembang, lemuru, dan belanak,

    f. Ikan pelagis besar, umumnya termasuk kategori ikan ekonomis penting, diantaranya tuna, tongkol, cucut, dan layangan, serta

    g. Krustasea, meliputi: udang peneaid, lobster, kerang, cumi-cumi

    Ikan merupakan sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan mempunyai sifat ’open access’ dan ’common property’, artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation /over fishing), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Sebagai komoditi ekonomi, sifat komoditi perikanan dapat diuraikan:

    1. Jumlah dan kualitas hasil perikanan dapat berubah-ubah karena sangat tergantung pada keadaan cuaca dalam tahun yang bersangkutan (Hanafiah, 1986)

    2. Lokal dan spesifik, tidak dapat diproduksi di semua tempat (Soekartawi, 1999)

    3. Perputaran modal cepat

    4. Jumlahnya banyak tetapi nilainya relatif sedikit/bulky (Soekartawi, 1999)

    5. Mudah rusak (perishable) dan resiko tinggi sehingga jika pemasarannya tidak cepat sampai ke konsumen harga ikan bisa turun drastis (Rahardi et.al, 2001).

    Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sub-subsektor perikanan (Setyohadi, 1997:33), diantaranya:

    1. Nelayan,

    2. Tengkulak Ikan atau pedagang pengumpul,

    3. Koperasi Perikanan,

    4. Pengusaha Perikanan,

    5. Konsumen Ikan, dan

    6. Departemen Kelautan dan Perikanan Khususnya Direktorat Jenderal Perikanan ditingkat nasional dan propinsi serta Dinas Perikanan dan Kelautan di Kabupaten/Kota,

    Departemen Pertanian (1985) merumuskan bahwa perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan perikanan ditempuh melalui empat usaha pokok yaitu:

    1. Ekstensifikasi, yakni upaya peningkatan produksi perikanan/perairan melalui perluasan/ penambahan sarana produksi dan/atau areal baru meliputi perluasan daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagi usaha penangkapan ikan.

    2. Intensifikasi, yang diarahkan untuk mencapai produktifitas yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan,

    3. Diversifikasi, merupakan upaya penganekaragaman usaha perikanan dan pengembangan industri pengolahan, dan

    4. Rehabilitasi, meliputi perbaikan sarana/prasarana penunjang sumberdaya perikanan.

    Empat usaha tersebut diupayakan secara terpadu, disesuaikan dengan kondisi sumberdaya, kebutuhan masyarakat serta memperhatikan pola tata ruang dan pembangunan sektor/subsektor lain (FX. Murdjijo, 1997). Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan terdapat syarat mutlak dan syarat pelancar (Aisyah, 2003). Syarat mutlak merupakan syarat yang harus ada agar pembangunan perikanan berjalan lancar, jika salah satu syarat tersebut dihilangkan maka pelaksanaan pembangunan perikanan akan terhenti (kegiatan perikanan dapat berjalan namun sifatnya statis). Syarat mutlak (Aisyah, 2003) adalah:

    1. Adanya pasar hasil perikanan dan jalur pemasaran yang pendek,

    2. Perkembangan teknologi perikanan,

    3. Tersedianya bahan dan alat produksi secara local

    4. Adanya perangsang produksi bagi nelayan, serta

    5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinyu untuk hasil perikanan.

    Sedangkan yang termasuk syarat pelancar, diantaranya:

    1. Pelaksanaan pendidikan pembangunan,

    2. Pemberian kredit dan sarana produksi,

    3. Kegiatan gotong-royong dikalangan petani ikan,

    4. Perbaikan dan perluasan lahan untuk kegiatan perikanan

    Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Soselisa, 2001:2). Menurut UU No. 19 tahun 1985 tentang Perikanan, penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, menangkap, mengumpulkan, menyimpan, mengolah atau mengawetkannya. Perikanan tangkap menggunakan peralatan utama kapal yang dilengkapi dengan alat tangkap, baik kapal bermotor maupun non motor.

    Referensi:

    Romadhon, A., Ja’far A., 2013. Strudi Kawasan Minapolitan Kabupaten Bangkalan. Badan Perencanaan dan Pembanguan Kabupaten Bangkalan.